Senin, 04 Maret 2013

LEMBAGA PERNIKAHAN - Matius 5:31-32

karyadim642.blogspot.com
31. Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.
32. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

31. errethē  de·  os  an  apolusē  tēn  gunaika  autou  dotō  autē  apostasion.  
32. egō  de legō  umin  oti  pas  o  apoluōn  tēn  gunaika  autou  parektos  logou  porneias  poiei autēn  moicheuthēnai  kai  os  ean  apolelumenēn  gamēsē  moichatai. 

Pada zaman Tuhan Yesus hubungan pernikahan atau kehidupan berumah tangga sedang dalam bahaya yang sangat mengerikan dan di zaman Tuhan Yesus di Israel berkembang beberapa sudut pandang tentang pernikahan karena di Israel pada waktu itu bukan hanya orang Yahudi saja tapi orang Romawi juga berpengaruh dalam budaya karena mereka sedang menjajah Israel tapi ternyata pengaruh Yunani sangat kuat dan menjalar keseluruh negeri jajahan Roma, sekalipun Romawi penjajah tapi dalam hal budaya bangsa Yunanilah yang menguasainya. Dari ketiga budaya yang sangat kuat pada zaman Tuhan Yesus inilah saya mau mengupasnya dari 3 sudut Pernikahan pada zaman Tuhan Yesus :


I.  Pernikahan menurut tradisi masyarakat Yahudi.

Berdasarkan kenyataan dibangsa manapun tidak ada yang mempunyai hubungan pernikahan yang begitu tinggi seperti bangsa Yahudi. Bagi mereka pernikahan adalah hal yang suci bagi laki-laki, laki-laki Yahudi boleh menunda tau tidak menikah hanya dengan satu alasan saja, yaitu membaktikan seluruh hidup dan waktunya untuk mempelajari hukum Taurat.


Ternyata dalam kenyataannya kesucian pernikahan Yahudi sangat dilanggar, karena ternyata dalam hukum Yahudi :

a.    Wanita itu merupakan barang saja.

b.    Wanita menjadi milik mutlak ayah atau suaminya.

c.    Wanita tidak mempunyai hak hukum sama sekali.

d.    Wanita tidak bisa menceraikan suaminya.


Sebaliknya untuk Laki-laki dapat menceraikan isterinya dengan alasan yang sederhana saja. Dasar hukumnya adalah. Ul 24:1-4.
1.     ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonohpadanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya,

2.   dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain,

3.   dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati,

4.   maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”..


Wanita melakukan “tindakan yang tidak senonoh” maka si laki-laki itu membuat surat cerai dan menyerahkannya kepada wanita itu lalu menyuruhnya pergi dari rumahnya.


Dan permasalahan terjadi dari pemahaman kalimat “yang tidak senonoh” dari yang terkandung di Kitab Ulangan tersebut. Di Israel ada 2 Aliran/mashab yang menyangkut masalah-masalah Hukum.:

1.   Aliran Shammai, menyatakan satu-satunya alasan yang memungkinkan  perceraian bagi isteri kalau si isteri melakukan Perzinahan.

2.   Aliran Hillel, menyatakan bahwa seorang suami dapat menceraikan isteri kalau :

-    Membubuhkan garam terlalu banyak.

-    Ia keluar rumah tanpa memakai tutup kepala.

-    Berbicara dengan laki-laki dijalan.

-    Suka bertengkar.

-    Membicarakan Mertuanya secara kurang hormat dihadapan suaminya.

-    Suka cari-cari perkara.


Menurut penjelasan Pdt Budi Asali untuk Matius 5:32 adalah kalau seorang suami menceraikan istrinya, sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua tidak boleh menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu melanggar larangan tersebut, dan ia menikah lagi? Saya tidak menemukan buku tafsiran yang membahas kasus seperti ini. Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu sebetulnya tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi, maka di hadapan Allah pernikahan itu merupakan perzinahan. Dengan demikian ditinjau dari sudut istri yang diceraikan, suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi berhak menikah lagi.
Karena itu jangan terlalu cepat berpikir negatif kalau ada janda / duda yang mau menikah lagi. Kita harus mengetahui lebih dulu apa sebabnya ia menjadi janda / duda. Kalau itu disebabkan karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!

II.   Pernikahan menurut tradisi masyarakat Yunani.

Menurut masyarakat Yunani, Wanita yang terhormat haruslah menjalani hidup secara menutup diri, tidak berada dijalan umum sendirian, dan tidak ikut makan satu meja dengan orang laki-laki, ia tidak boleh ikut campur dalam kehidupan sosial.

Setiap laki-laki Yunani menuntut agar isterinya memiliki kesucian moral yang sempurna, sedangkan bagi dirinya sendiri ia menuntut adanya kebebasan amoral yang sebesar-besarnya, akibatnya pernikahan di antara masyarakat Yunani sangat rendah moralnya dan ada dua hal yang merusak dalam kehidupan pernikahan didunia Yunani :

a.  Hal yang menghancurkan pernikahan di tengah masyarakat Yunani ialah bahwa hubungan laki-laki dan wanita diluar pernikahan sama sekali tidak dianggap salah atau tercela. Hubungan semacam itu diterima dengan baik dan memang sangat diharapkan oleh masyarakat.

b.  Hal kedua  yang menghancurkan pernikahan ditengah masyarakat Yunani adalah perceraian tidak memerlukan proses hukum sama sekali. Kalau ada suami yang ingin menceraikan isterinya, ia hanya tinggal mengusir dan melepaskan isterinya itu dihadapan dua orang saksi saja.


III.    Pernikahan menurut tradisi masyarakat Romawi.

Kehidupan masyarakat Romawi itu dibangun dengan prinsip keluarga yang baik, dimasyarakat Romawi Bapaklah yang berkuasa atau disebut Patia Protestas. Bapaklah yang memegang kekuasaan untuk hidup dan mati dari sebuah keluarga atau Rumah Tangganya, seorang anak laki-laki Romawi tidak akan pernah mengalami dewasa selama ayahnya masih hidup.

Seorang ibu rumah tangga tidak terkucilkan, ibu turut berperan didalam kehidupan keluarga.


Norma moral romawi itu memang begitu tinggi , sehingga selama lima abad pertama dalam zaman kekaisaran Romawi tidak ada satu percerain pun yang terjadi. 
Setelah secara kemiliteran/politik Romawi mengalahkan Yunani, tetapi selanjutnya dalam perjalanan penjajahan atas Yunani itu, ternyata secara Budaya  tanpa disadari oleh orang-orang Romawi, Yunani menguasai Budaya dan adat istiadat Romawi, maka mulailah malapetaka Pernikahan keluarga di  Masyarakat Romawipun terjadilah, Perceraian sama seringnya dengan Pernikahan, sehingga pada zaman itu jangan heran kalau Wanita memiliki suami lebih dari satu ada yang tujuh bahkan ada yang memiliki sepuluh suami, suatu tragedi budaya pernikahan yang tragis sekali dari sebuah Negara yang memiliki kekuatan Militer dan Politik yang sedemikian hebatnya, ternyata dapat dijajah hanya oleh sebuah budaya yang tingkat amoralnya sangat rendah.


Dan inilah kehadiran Tuhan Yesus pada saat itu dimana Romawi berkuasa secara Militer dan Politik, tapi ternyata Yunani mendompleng didalamnya menjadi penjajah secara Ilmu dan Budaya, khususnya tentang lembaga Pernikahan, yang efeknya secara tidak langsung mengena ke Budaya Pernikahan Israel. Tuhan Yesus hadir pada saat itu membawa ajaran tentang kemurnian, kesucian, kesetiaan dan harkat pernikahan yang menurut budaya pada waktu itu adalah sesuatu yang baru dan selanjutnya dengan kekristenan maka di dunia ini telah datang satu kemurnian dan kesucian yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia.


Bekasi, 04 Maret  2013


Karyadim642.blgspot.com

Marriage Is Sacred and Binding/Lembaga Pernikahan
31   "Furthermore it has been said, 'Whoever divorces his wife, let him give her a certificate of divorce.'
32  But I say to you that whoever divorces his wife for any reason except sexual immorality causes her to commit adultery; and whoever marries a woman who is divorced commits adultery.

31   Ἐρρέθη  δέ·  ὃς  ἂν  ἀπολύσῃ  τὴν  γυναῖκα  αὐτοῦ  δότω  αὐτῇ  ἀποστάσιον. 
32   ἐγὼ  δὲ  λέγω  ὑμῖν  ὅτι  πᾶς    ἀπολύων  τὴν  γυναῖκα  αὐτοῦ  παρεκτὸς  λόγου πορνείας  ποιεῖ  αὐτὴν  μοιχευθῆναι  καὶ  ὃς  ἐὰν  ἀπολελυμένην  γαμήσῃ  μοιχᾶται.