Jumat, 22 Maret 2013

WHAT IS THE WORTH OF JESUS CHRIST?

WHAT IS THE WORTH OF JESUS CHRIST?

“Then one of the Twelve - the one called Judas Iscariot - went to the 
chief priests and asked, ‘What are you willing to give me if I hand
him over to you?’ So they counted out for him thirty silver coins.
From then on Judas watched for an opportunity to hand him over”
(Matthew 26:14-16 NIV).


Judas Iscariot is known for his nefarious act of betraying Jesus
Christ to Jewish leaders for the sum of thirty silver coins only. That
was the worth of Jesus Christ to him. He later regretted his action,
returned the money to the leaders and went to hang himself.
The worth of Jesus Christ varied to the other disciples and followers
of Jesus Christ. Joseph of Arimathea valued even the corpse of Jesus
Christ that he “wrapped it in a clean linen cloth, and placed it in
his own new tomb that he had cut out of the rock” (Matthew 27:59-60
NIV). He gave to Jesus was special to him because he valued Him
greatly. Mary Magdalene and the other women that had been serving Him
before His death were still loyal to Him even after His death. They
brought spices and perfume to anoint His body. Paul’s statement about
the worth of Jesus Christ is classic: “For to me, to live is Christ
and to die is gain” (Philippians 1:21 NIV). Jesus Christ worth the
whole life to Paul. No wonder, he later said, “I consider everything a
loss compared to the surpassing greatness of knowing Christ Jesus my
Lord, for whose sake I have lost all things. I consider them rubbish,
that I may gain Christ” (Philippians 3:8 NIV). Simon Peter had earlier
said similar thing: “We have left everything to follow you!” (Mark
10:28 NIV).
Jesus Christ does not worth a dime to many people. Like Judas, such
people do not care about what happen to Jesus Christ and the cause of
the Gospel. Such people may even be so-called Christians. Inasmuch as
their interest is not affected, they can sell Jesus Christ for any
amount. On the other hand, Jesus Christ is all the world to some
people. Like Paul and other faithful followers of Jesus Christ in the
Bible, such people are ready to give everything to Jesus Christ and
the cause of the Gospel.
What is the worth of Jesus Christ to you? Does He worth anything to
you? What can you give up or give away because of Jesus Christ? 
Like Will L. Thomp­son (1847-1909), I have the courage to say, “Jesus is
all the world to me, and true to Him I’ll be; O how could I this
Friend deny, when He’s so true to me? Following Him I know I’m right,
He watches o’er me day and night; Following Him by day and night, He’s
my Friend.”

In His service,

PERGERAKAN ALKITAB DI INDONESIA


Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk
kebanyakan orang di seluruh dunia.

Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya
tidak dikenal oleh orang-orang biasa.

Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan
Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka
dan sangat mahal harganya.

Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika
orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak
tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa
untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan.

Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam
bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak
dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.

Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu
berturut-turut dihapus.

Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya
orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama
dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah
diperoleh.

Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua Eropa. Gerakan pembaharuan gereja
itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas keadaan
rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia mendengar tafsiran Alkitab yang
diberikan oleh orang lain; ia harus dapat mempunyai Alkitab sendiri, serta harus
dapat mengerti isinya.

Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi, Alkitab harus diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Dan justru itulah
yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada abad yang ke-16.

Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan
orang di Nusantara. Memang sudah ada orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen
Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia pada abad yang ke-12, dan kaum
Kristen Katolik mulai datang pada abad yang ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang
mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa asing, yang sulit dipahami oleh
putra-putri Nusantara.

Ada juga halangan khusus di Nusantara yang mencegah orang mempunyai dan membaca
Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di berbagai-bagai pulau itu berbicara
dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika seorang pelaut pergi berlayar di
Nusantara, belum tentu ia dapat bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau
tempat tujuannya.

Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya dipakai kalau putra-putri Nusantara
pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan. Salah satu bahasa perniagaan itu
ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum lagi ialah, bahasa Melayu (yang
sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa Indonesia).

Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, bukan di
negeri Portugis sendiri, melainkan di Nusantara!

Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang anak laki-laki kecil dibawa dari
Portugis ke kota Malaka, di semenanjung Melayu. Ketika ia masih berumur belasan
tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru
Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat muda, mulailah dia menerjemahkan
seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa ibunya. Kemudian, tatkala ia
pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat menyelesaikan terjemahannya itu. Ia
juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab Perjanjian Lama.

Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis itu diusir dari seluruh Nusantara
oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu makin lama makin sedikit orang yang
menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa perdagangan antar pulau. Dan Alkitab
masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di
kepalauan Indonesia.

Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf bahwa Firman Allah seharusnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya para pendeta dan penginjil,
melainkan para pelaut dan pedagang. Pada permulaan abad yang ke-17, seorang
pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan dipenjarakan oleh suku Aceh yang
pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama ditahan di Sumatera Utara, orang
Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu. Setelah dibebaskan, mulai pada tahun
1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen yangg sudah diterjemahkannya ke
dalam bahasa Melayu.

Sementara itu, seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari
Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca
oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai
mereka rela membayar semua ongkos penerbitan untuk proyek terjemahannya itu.
Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius
ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh belas tahun kemudian, hasil karyanya
itu dicetak.

Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa Kami (Matius 6:9-13)
berbunyi sebagai berikut:


"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D’jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d’jakat."


Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat diterjemahkan oleh A. C. Ruyl,
pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa Melayu yang dipakainya itu sangat
jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan antara "kita" dengan "kami."

Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17, ada seorang pendeta Belanda bernama
Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab
yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara. Ia pindah ke kepulauan
Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Melayu.

Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1668,
Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:


"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."


Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan "kita" dan "kami." Namun masih
banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkannya.
Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam
untuk kebanyakan orang di Nusantara.

Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius itu diterbitkan,
seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur. Siapa namanya? Dr. Melchior
Leydekker. Di samping menjadi seorang pendeta, ia juga seorang dokter. Pada
tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari jawa Timur ke Jakarta, dan tetap
tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.

Dr. Leydekker menjadi pandai sekali berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada
tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai menyiapkan suatu terjemahan seluruh
Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di seluruh Nusantara.

Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja dengan tekun. Terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia terus mulai mengalih-bahasakan
Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan tugas yang mulia
itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah mengerjakan terjemahannya sampai
dengan  Efesus 6:6.

Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa Melayu Dr. Melchior Leydekker di
bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan yang disempurnakan dan menurut
tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian lebih jelaslah persamaannya dengan
ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan biasa bahasa Indonesia:


"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."


Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum ditunjuk untuk menyelesaikan
tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga sudah ada Firman Allah yang lengkap
dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa sampai terjadi demikian?

Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan
kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri itu seorang anak laki-laki dalam
keluarga seorang pembantu kepala sekolah. Anak laki-laki itu lahir pada tahun
1965 dan diberi nama Francois Valentyn. Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang
pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun ketika ia diizinkan meninggalkan
kuliah teologinya serta pergi ke Maluku sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia
juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah
sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat setelah belajar hanya tiga bulan
lamanya.

Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta tua datang ke Ambon dan menginap di
tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi. Sang pendeta tua membawa serta
sebuah naskah besar. "Warisan," katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang
pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kemudian sang janda memberikan
naskah ini kepadaku.

Secara tidak terduga pendeta tua itu meninggal pada waktu ia bertemu di rumah
pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh ke dalam tangan Pdt. Francois
Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan tangan itu adalah terjemahan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!

Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia rajin menyelidiki bahasa dan
kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin mencari teman-teman baru di tempat
pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu adalah seorang janda kaya. Setelah
menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn kembali ke tanah airnya pada tahun 1695.
Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.

Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18 diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker
almarhum (dengan bantuan salah seorang rekannya) telah berhasil menerjemahkan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.

Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri hati? Mungkinkah ia berkeinginan
supaya dia saja yang dihormati (dan bukan orang-orang yang sudah meninggal)
sebagai penerjemah yang pertama-tama menghasilkan seluruh Firman Allah dalam
bahasa Nusantara?

Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai mempromosikan dirinya sebagai penerjemah
naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya kebetulan saja ada di dalam
tangannya). Katanya, terjemahan itu juga lebih baik, jauh lebih modern, bahkan
jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr. Leydekker.

Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik di Belanda maupun kepulauan
Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Valentyn, tetapi
ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Leydekker. Akibatnya,
kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan. Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh
tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan
putra-putri Nusantara.

Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan jelas. "Terjemahan Valentyn" itu
diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya orang lain. Lagi pula, terjemahan
itu dinilai sangat jelek.

Akan tetapi sementara perselisihan pendapat itu masih berlangsung, sudah lewat
juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang yang merasa bahwa terjemahan
Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pada tahun 1723
sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting kembali naskah terjemahannya itu.
Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya yang baru.

Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali
disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam huruf Latin, dan sekali lagi dalam
huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing dikirim ke Belanda dalam dua kapal
yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa walau satu naskah jadi
hilang di dasar laut, namun naskah yang satunya lagi itu masih akan tiba dengan
selamat. Salah seorang penyuntingnya juga berlayar ke tanah airnya, untuk
mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.

Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab
lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada tahun 1733. Maka akhirnya juga
Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa Nusantara!

TAMAT

ALKITAB YANG MEMBISU

Di daerah Palestina dua ribu tahun yang lalu, orang membuat kitab bukan dengan
kertas, melainkan dengan kulit kambing yang sudah disamak. Jadi, pada waktu
seorang juru tulis Palestina yang kenamaan hendak menyalin sebuah kitab, ia pun
terlebih dahulu memesan gulungan kulit. Kulit itu disiapkan secara istimewa oleh
seorang penyamak kulit yang ahli.

Juru tulis kenamaan itu sangat memperhatikan gulungan yang dipesannya, karena ia
sedang menghadapi suatu tugas yang sangat penting: Ia akan menyalin seluruh
Kitab Nabi Yesaya denngan tulisan tangannya sendiri!

Di atas meja tulisnya sudah tersedia berbagai alat tulisnya: beberapa buluh rawa
yang diruncingkan dan semacam dawat khusus yang dipakainya sebagai tinta. Dengan
memakai dawat itu, tulisan pada kulit kambing dapat tahan tanpa menjadi luntur
untuk bertahun-tahun lamanya.

Setelah segala alat tulisnya siap, juru tulis kenamaan itu mulai bekerja. Dengan
teliti ia menyalin kata demi kata pada lajur-lajur sempit yang membujur di
gulungan panjang itu. Jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu ia
bekerja dengan tekun.

Akhirnya selesailah salinan seluruh Kitab Nabi Yesaya. Kedua ujung naskah yang
tertulis pada gulungan kulit itu masing-masing dilekatkan pada dua batang kayu,
supaya mudah dibuka untuk dibaca. Bila tidak dipakai, naskah itu digulung dari
kedua ujungnya sampai tertutup dengan rapat, lalu diikat dan disimpan dalam
perpustakaan.

Penyamak kulit ahli sudah menyediakan sebuah gulungan kulit kambing lagi, maka
juru tulis kenamaan itu bekerja terus. Segera ia mulai menyalin sebuah kitab
lain lagi dari Perjanjian Lama. Sedikit sekali orang yang semahir dia; sedikit
sekali orang yang seteliti dia bila sedang membuat salinan baru dari naskah
kuno. Semua gulungan naskah dari kulit hasil karyanya itu dipakai berkali-kali
dalam kebaktian serta penyelidikan Alkitab, dan selalu dipelihara baik-baik.
Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun sudah lewat. Bangsa Romawi sudah
mulai menjajah daerah Palestina.

Sekelompok ahli Taurat mengungsi ke suatu daerah yang terpencil di dekat Laut
Mati. Di situ bukit-bukitnya gersang dan ada banyak gua, tempat binatang buas
membuat liangnya dan lebah hutan menyimpan madunya. Di situ pula ahli-ahli
Taurat itu membangun semacam benteng, dengan memakai batu-batu pegunungan yang
ada disekitar mereka.

Di dalam benteng itu mereka membentuk suatu mazhab agama Yahudi tersendiri, yang
hidup terasing di pegunungan. Mereka mendirikan semacam persekutuan
persaudaraan, dan hidup sebagai biarawan. Walau ada kerusuhan di dunia luar,
namun mereka terus menyelidiki Kitab Perjanjian Lama dari gulungan-gulungan
kulit.

Di antara orang-orang itu ada seorang ahli perpustakaan. Dialah yang bertugas
memelihara gulungan-gulungan kitab yang banyak sekali itu. Di samping itu ia pun
mencatat hikayat tentang cara hidup para anggota persekutuan persaudaraan.

Masa itu memang suatu masa yang penuh kerusuhan. Ahli perpustakaan itu makin
lama makin cemas. Ia mulai berpikir: Bagaimanakah kalau orang-orang Romawi atau
musuh-musuh lain datang menyerbu benteng kita? Lalu timbul kecemasan lain lagi
dalam benaknya: Bagaimanakah aku dapat menyelamatkan gulungan-gulungan kulit
yang sangat berharga ini? Di manakah tempat yang paling aman?

Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah pegunungan yang gersang itu, akhirnya ia
menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah bukit yang terpencil ada beberapa
gua. Gua-gua itu kelihatan kecil, tetapi setelah ia menyelinap masuk melalui
celah gunung yang sempit, ternyata ruang di dalamnya cukup luas, lagi bersih dan
kering.

Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah pegunungan yang gersang itu, akhirnya ia
menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah bukit yang terpencil ada beberapa
gua. Gua-gua itu kelihatannya kecil, tetapi setelah ia menyelinap masuk melalui
celah gunung yang sempit, ternyata ruang di dalamnya cukup luas, lagi bersih dan
kering.

Ahli perpustakaan itu pulang dan melaporkan hasil penjelajahannya. Lalu para
anggota persekutuan itu setuju bahwa gulungan-gulungan kulit milik mereka
sebaiknya disembunyikan di gua-gua. Nanti sesudah bahaya peperangan lewat,
mereka dapat megambilnya kembali.

Maka gulungan Kitab Nabi Yesaya itu diambil dari tempat penyimpannya di
perpustakaan, bersama dengan ratusan naskah lainnya, besar dan kecil. Tiap kitab
gulungan diikat baik-baik, serta dimasukkan ke dalam sebuah tempayan dari tanah
liat. Ada yang disembunyikan dalam gua yang satu, dan ada yang disembunyikan
dalam gua yang lain. Selain para anggota persekutan persaudaraan itu, tidak
seorang pun yang tahu di manakah mereka menyimpan harta mereka.

Akhirnya bahaya itu betul-betul datang. Biara berupa benteng itu dihancurkan,
dan para anggota persekutuan persaudaraan dibunuh. Jadi, tidak ada seorang pun
yang masih hidup, yang tahu adanya naskah-naskah yang tersembunyi itu.

Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratus tahun sudah lewat. Di
dalam gua-gua yang gelap, tempayan-tempayan tanah liat itu masih tetap
melindungi harta yang tersembunyi. Kadang-kadang ada yang pecah karena ada batu
yang jatuh dari langit-langit gua, dan naskah yang sudah lapuk itu pun hancur.
Tetapi gulungan Kitab Nabi Yesaya masih tetap utuh. Hanya saja, . . .
mungkinkah mata manusia akan sempat membacanya lagi?

Sementara itu, di dunia luar ada juga salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya, tetapi
kurang lengkap. Tidak semua juru tulis seteliti juru tulis kenamaan yang pernah
membuat salinan kitab gulungan itu ribuan tahun yang lampau! Di sana sini ada
bagian-bagian kecil yang rupa-rupanya salah tulis atau dilompati, sehingga orang
yang menyelidiki kitab itu sulit mengerti ayat-ayat tertentu. Kata-kata nabi itu
seakan-akan tidak ada artinya lagi.

Pada tahun 1947, dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
dan hampir dua ribu tahun setelah naskah-naskah gulungan kulit itu
disembunyikan, daerah Palestina dikuasai oleh Kerajaan Yordania.

Pada suatu hari seorang anak laki-laki yang menjadi gembala pergi mencari madu
hutan di gua-gua dekat Laut Mati. Alangkah herannya ia melihat tempayan-tempayan
yang berderet-deret di salah satu gua itu! Melalui celah-celah tempayan yang
sudah retak, anak gembala itu dapat melihat gulungan-gulungan kulit yang sudah
hampir dua puluh abad umurnya. Ia berlari pulang dan memberitahu keluarganya
tentang hal luar biasa yang baru ditemukannya itu.

Tidak lama kemudian, sampailah salah satu gulungan kulit itu di kota Yerusalem.
Para sarjana memandangnya dengan kagum. Mereka berusaha membukanya, tetapi tidak
dapat. Kulitnya sudah terlalu tua dan terlalu lapuk. Sentuhan sedikit saja akan
menghancurkannya.

Gulungan kulit itu harus diselamatkan, agar tulisan di dalamnya dapat dibaca!
Dengan segala pengetahuan ilmiah modern, para ahli mencari daya untuk dapat
membukanya. Mereka menggunakan uap air panas, zat-zat kimia, mikroskop, lampu-
lampu khusus, dan kamera. Sedikit demi sedikit pekerjaan yang amat sulit itu
terlaksana.

Betapa sukacitanya hati mereka: Gulungan kulit itu adalah salinan seluruh Kitab
Nabi Yesaya! Belum pernah manusia melihat sebuah kitab yang setua atau sebagus
itu.

Mungkinkah kitab itu lebih tua daripada salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya yang
sudah biasa dipakai sebagai dasar terjemahan Alkitab? Mungkinkah kata-kata yang
kurang masuk akal itu ternyata disebabkan oleh kekhilafan seorang juru tulis
dahulu kala?

Para sarjana Alkitab mulai mencocokkan bagian-bagian yang belum mereka pahami
dalam salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya yang sudah ada di dalam tangan mereka,
dengan bagian-bagian yang sama dalam naskah pada gulungan kulit itu.

"Nah, inilah dia! Di sini!" demikianlah seru salah seorang sarjana Alkitab
dengan girang. "Lihat! Di sini ada sebagian kecil yang kurang pada salinan kita.
Ada beberapa kata yang terlewat!"

Sekarang mereka mengerti mengapa beberapa ayat dari Kitab Nabi Yesaya itu
tadinya kurang masuk akal, sebab ada beberapa kata yang tidak tertulis. Rupa-rupanya
pernah ada seorang penyalin yang memang kurang teliti.

Tahulah para sarjana Alkitab bahwa gulungan naskah dari bukit-bukit di dekat
Laut Mati itu merupakan harta yang tak ternilai harganya. Dengan bantuan
gulungan itu, ada sebanyak tiga belas tempat di dalam Kitab Nabi Yesaya di mana
terjemahan-terjemahan yang kurang tepat dapat diperbaiki.

Orang-orang terus berdatangan ke daerah pegunungan di dekat Laut Mati itu, dan
terus mencari. Betul, sebagaimana mereka sangka, di dalam gua-gua di bukit-bukit
yang gersang itu masih terdapat beratus-ratus gulungan kulit lainnya.

Semuanya diamankan. Oleh karena naskah-naskah itu sudah sangat tua dan sangat
lapuk, maka semuanya harus disimpan dengan hati-hati. Ada yang diberi tanda:
"Jangan dipegang!" Bahkan ada yang diberi tanda: "Dilarang bernapas di atas
gulungan ini!"

Gulungan-gulungan yang disalin pada masa lampau oleh seorang juru tulis kenamaan
serta disembunyikan oleh para anggota persekutuan persaudaraan itu telah menjadi
harta yang sangat berharga. Pada masa lampau mereka sendiri tidak menyangka
bahwa benda-benda itu akan tetap tersembunyi selama dua ribu tahun. Tetapi pada
masa sekarang naskah-naskah yang tertulis di atas kulit itu dapat digunakan
untuk memperkaya pengertian Alkitab di seluruh dunia.

TAMAT