Sabtu, 23 Maret 2013

PEREMPUAN KECIL YANG PANDAI MEMBACA


BUDAK PEREMPUAN CILIK YANG PANDAI MEMBACA
(Pulau Malagasy, 1882)

Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari kepulauan Indonesia,
seorang anak perempuan kecil sedang menangis tersedu sedan.

Pantas saja ia menangis! Coba bayangkan: Si Upik baru saja diculik dari rumah
orang tuanya. Ia ditangkap oleh orang-orang kejam yang memperbudak manusia.

Seluruh badan gadis cilik itu gemetar menahan tangisnya.

Dengan bengis si penjual budak memandangnya; tangannya menggenggam cambuk.
"Cukup kau menangis!" ia berteriak. "Kau mau kucambuki?"

Mata si Upik terbelalak, penuh rasa takut dan ngeri. "Wah, jangan, pak!"

"Kenapa jangan?" bentak penjual budak itu. "Kau bukan lagi anak ibumu yang
manja. Kau sekarang seorang budak belian. Coba pikir, di kampung halamanmu
sendiri, siapa yang peduli akan nasib budak?"

Lalu ia pergi, seraya memberikan peringatan terakhir: "Aku tidak mau mendengar
tangisanmu lagi, tahu! Bagaimana aku dapat menjualmu besok kalau mukamu bengkak
karena menangis terus?"

Apa yang dikatakan oleh pedagang budak itu memang benar. Di seluruh pulau
Malagasy yang besar itu, tidak ada seorang pun yang menghiraukan nasib budak
belian. Bahkan di kampung halaman si Upik sendiri, jauh di sebelah selatan,
seorang budak pasti dihukum kalau menangis terus dan merepotkan pemiliknya.

Gadis kecil itu mulai berusaha membiasakan diri dengan kegaduhan dan keramaian
kota di sekelilingnya. Dengan berbuat demikian mudah-mudahan ia tidak lagi
terlalu memikirkan kebahagiaan hidupnya dulu.

Orang tuanya tidak ada di rumah ketika ia diculik. Karena itu ia berharap agar
mereka luput dari serangan para perampok. Betapa sedihnya mereka bila nanti
mereka pulang dan mendapati putri kecil mereka tidak ada di situ lagi! Mereka
akan merasa sangat kehilangan "si Upik" (begitulah nama julukan yang sering
mereka pakai baginya). Mereka hanya dapat berharap agar anak perempuan yang
secantik dia akan dijual ke dalam sebuah rumah tangga yang cukup baik.

Ketika si Upik menguasap matanya dan melihat ke sekelilingnya, ia pun mulai
tertarik oleh kesibukan di sekitar tempat itu. Ia memperhatikan orang banyak
yang lalu lalang; beberapa diantaranya, dengan pakaian yang indah-indah, sedang
ditunggui oleh budak-budak belian. Si Upik mulai memikirkan apa yang akan
terjadi atas dirinya besok pagi.

Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang sederhana.
Rambutnya pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai membuat barang
dagangannya kelihatan menarik di mata calon pembeli!

Rasanya waktu lewat dengan lamban sekali pada pagi itu. Orang-orang kaya
biasanya tidak mau datang ke pasar terlalu pagi. Hanya beberapa orang biasa
datang dan membeli budak-budak yang tidak seberapa mahal harganya.

Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik, yang duduk di bawah naungan
sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut dan sedikit mengharap-harap.
Tetapi mereka selalu terus pergi setelah mendengar harga yang ditawarkan itu,
walau ada juga orang yang sempat berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali!
Mungkin ia akan laku juga semahal itu."

Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah sebuah tandu yang
indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak yang kelima memagang menaungi
seorang wanita muda yang berbaring di atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah.

Wanita yang kaya-raya itu mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan
kepadanya. Kekuatiran dan kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya
ia menganggap seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja.

Hanya ada satu budak yang tidak kelihatan sedih. Itulah si Upik. Ia begitu
tertarik akan penampilan wanita kaya itu sehingga ia memandangnya dengan penuh
rasa ingin tahu. Belum pernah ia melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus
itu!

"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si Upik. "Kelihatannya
cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"

Sebelum si Upik insaf apa yang terjadi, jual beli itu sudah selesai. Sekarang ia
telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya itu.

Tidak lama kemudian, usungan itu dibawa dengan cepat, menerobosi orang banyak.
Si upik berusaha mengikuti langkah-langkah yang terlalu panjang dari budak-budak
dewasa itu. Ia berlari-lari kecil; napasnya mulai terengah-engah. Seorang budak
laki-laki yang tinggi besar berjalan di sisinya untuk menjaga agar ia tidak
berusaha melarikan diri.

Di tempatnya yang baru, si Upik dengan cepat dan lancar dapat belajar cara-cara
melayani majikannya. Majikannya ternyata sangat baik hati. Ia merasa senang,
terutama oleh karena gadis cilik itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak
pernah bermuram durja.

Pada suatu hari sang majikan bertanya dengan sikap tak acuh: "Apa kau lahir
sebagai budak, Upik?"

Untuk seketika mata si Upik tergenang air mata. Tetapi segera ia dapat menguasai
dirinya. Ia bertindak tegak dan menjawab dengan tenang. "Tidak, nyonya besar.
Aku diculik. Kampung halamanku di sebelah selatan. Dari sanalah para perampok
menyeretku. Orang tuaku tidak tahu aku diculik."

Wajah majikannya mengerut. "Ah! Sama sekali tidak terpikirkan. Apalagi kau masih
kecil! Kau begitu tabah, Upik. Aku sama sekali tidak menyangka kau pernah hidup
bebas dengan keluargamu sendiri."

Kemudian dilanjutkannya: "Sebetulnya aku tidak begitu suka mempunyai budak yang
asalnya bukan budak. Mencicipi kebebasan, lalu kehilangan kebebasan itu, rasanya
lebih pahit daripada kalau kamu belum pernah hidup bebas. Tetapi setidak-tidaknya
kau lebih mujur menjadi budak di rumahku daripada menjadi budak di rumah orang
lain, ya, Upik?"

Si Upik tersenyum. "Nyonya besar sudah membuatku bahagia dan puas," jawabnya
dengan tulus ikhlas

Namun kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat demikian, bila tidak
ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk di bawah sebuah pohon yang besar
di taman. Dari dalam jubahnya ia mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa
serta. Lama ia duduk sambil membaca buku kecil itu.

Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia diculik. Tanpa
disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia ditangkap dan diseret oleh para
perampok. Kini buku kecil itu menjadi harta si Upik yang paling berharga: Isinya
tak lain ialah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit
dengan bahasa Indonesia).

Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak ada seorang Kristen pun kecuali si
Upik. Juga tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membaca, sang
majikan juga tidak. Namun budak-budak yang buta huruf itu senang mengintip pada
saat-saat si Upik pergi menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si Upik
membaca, karena ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan kebiasaan pada
zaman itu.

Tidak lama kemudian, setiap pelayan di rumah tangga itu mengetahui bahwa si Upik
memiliki sebuah Buku kecil, dan bahwa ia pandai membaca isinya. Tetapi tidak
seorang pun yang berani memberitahu sang majikan. Meskipun ia baik hati, mungkin
ia akan merasa cemburu terhadap seorang budak yang begitu pandai. Mungkin ia
akan menghukum si Upik; mungkin ia akan merampas Bukunya.

Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di taman untuk menikmati
buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar olehnya suara orang. Karena ingin
tahu, ia menghampiri tempat dari mana suara itu terdengar.

Tampaklah si Upik sedang duduk di bawah pohon, asyik membaca.

"Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya majikannya. "Sedang menghafal cerita, ya?"

Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula ia hendak menyembunyikan Buku kecil
itu, tetapi kemudian diperlihatkannya. "Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca
Kitab Suci."

"Membaca? Sungguh kau dapat?"

"Sungguh, nyonya besar," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya. "Ayah yang
mengajarku membaca."

Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari jauh, dengan hati yang
berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan marah? Ataukah merasa geli saja?

Heran, . . . kedua dugaan itu meleset. Apa yang mereka dengar kemudian?

"Dapatkah kau mengajarku membaca, Upik?"

"Dapat, nyonya besar! Dengan senang hati," jawab si Upik.

Pelajaran itu segera dimulai. Karena tidak ada buku lain, Kitab Perjanjian Baru
milik si Upik menjadi buku pelajaran.

Si Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, seperti
misalnya cerita domba yang hilang dan cerita orang Samaria yang murah hati. Kata
demi kata sang majikan belajar membaca perumpamaan-perumpamaan itu.

"Sangat menarik!" serunya. "Cerita-cerita ini amat indah. Tetapi . . .
siapakah Tuhan Yesus itu?"

Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab Injil Lukas, pasal 2.
Budak cilik itu menolong majikannya membaca tentang kelahiran Yesus pada malam
yang ditaburi bintang-bintang. Mereka membaca tentang para malaikat yang
menyanyi dan memuliakan Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi
palungan Sang Bayi Kudus.

Tetapi pelajaran membaca terpaksa diperpendek pada hari itu. "Cerita ini terlalu
panjang, Upik," majikannya mengomel. "Engkau saja yang membacakannya."

Maka si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa yang indah itu.
Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik membacakan cerita Tuhan
Yesus, termasuk ajaran-ajaranNya, penyalibanNya, dan kebangkitanNya. Ia pun
meneruskan cerita itu dengan membacakan perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan
Yesus setelah Hari Pentakosta.

Sang majikan, beserta semua budaknya yang cukup dewasa, terus mendengarkan
dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka mendengar cerita yang demikian!

Bukan hanya itu saja: Wanita bangsawan itu mulai mengundang teman-temannya untuk
berkumpul di rumahnya pada waktu senja. "Aku mempunyai seorang budak baru,"
katanya, "seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat membaca. Buku miliknya sendiri
memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta ajaran-ajaran yang belum pernah
kudengar. Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"

Mungkin saja majikan itu pun ingin agar teman-temannya mengetahui bahwa ia
sendiri sekarang dapat membaca. Karena setiap kali tetangga-tetangganya datang,
ia mengambil Buku kecil dari tangan si Upik dan membuka halaman-halaman
tertentu. Walau ia membaca dengan pela-pelan, namun kedengarannya cukup jelas,
sehingga teman-temannya menjadi takjub.

Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya. Pada suatu hari
wanita yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan dulu Bukumu dan jelaskan
kepadaku bagaimana caranya aku dapat menjadi pengikut Tuhan Yesus."

Hal ini tidak mengherankan si Upik. Siapa yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus,
demikianlah pikirannya. Siapa yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang
begitu mengasihi kita sehingga Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juru
Selamat kita!

Namun si Upik jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua budak dipanggil
menghadap majikan mereka. "Kalian sudah tahu," katanya dengan lambat, "bahwa aku
telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi
memperbudak sesamaku. Kalian semua merdeka."

Merdeka! Para budak itu hampir-hampir tidak mempercayai apa yang mereka dengar.
Sungguh suatu hari yang diliputi kebahagiaan!

Beberapa di antara mereka segera pulang ke kampung. Yang lainnya lebih suka
tetap tinggal pada majikan mereka sebagai pegawai bayaran.

Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orang tuanya. Ia memasuki rumah
itu bagaikan orang yang sudah bangkit dari kubur. Kedatangannya kembali itu
membawa kebahagiaan yang tiada taranya bagi orang tuannya.

Tetapi kemudian secara sukarela si Upik kembali lagi kepada sang majikan yang
sangat dikasihinya. Mereka berdua, diiringi oleh bebarapa pembantu, pergi jauh
ke suatu tempat di mana ada utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar
penginjil-penginjil dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan
membimbing orang-orang Kristen yang baru.

Utusan-utusan Injil yang datang dari negeri jauh itu merupakan jawaban atas
permohonan doa mereka. Tetapi iklim di pulau Malagasy itu asing bagi para
penginjil. Mereka dijangkiti penyakit, dan satu persatu meninggal. Akhirnya
keadaan kembali seperti semula: Tidak ada yang memimpin dan mengajar pengikut-pengikut
Tuhan Yesus yang baru itu.

Namun sang majikan tidak putus asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mula membaca
dan berdoa serta mengharapkan pimpinan Roh Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang
dan gigih, ia sendiri mengajar setiap orang yang rela berguru kepadanya.

Lambat laun di kotanya di pulau Malagasy itu tumbuhlah suatu jemaat Kristen yang
banyak sekali anggotanya. Dan hingga kini orang-orang Kristen yang tinggal di
kota itu masih suka bercerita dengan bangga:

"Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan kecil yang kesepian
membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara keras, dan oleh karena seorang
wanita muda yang kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran Firman Allah
serta melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!"

TAMAT

ALKITAB YANG SELALU DIBAWA


ALKITAB YANG DIBAWA SERTA PENGIRIM SURAT BERKUDA
(Amerika Serikat, 1860-1861)

Rombongan berkuda itu berhenti pada lereng sebuah bukit kecil. Jalan sempit yang
sedang mereka ikuti itu terus menanjak sampai ke puncak, lalu menghilang di
lembah sebelah sana.

Seorang pemuda bernama Charles Martin turun dari kudanya. "Tunggu dulu di sini!"
perintahnya.

Anggota-anggota lainnya dari rombongan berkuda itu adalah pria-pria dewasa.
Namun tanpa menggerutu mereka menuruti perintah pemuda itu. Sudah lebih dari
satu kali, nyawa mereka semua terselamatkan berkat kewaspadaan si Charles yang
menjadi petunjuk suatu jalan mereka. Ia tidak akan membiarkan mereka terjebak
memasuki suatu lembah yang mungkin dikuasai oleh segerombolan perampok atau suku
indian Apache yang garang. Sebagai seorang pemuda koboi yang dibesarkan di
wilayah sebelah barat Amerika yang luas dan belum beradab itu, Charles Martin
merasa bertanggung jawab atas orang-orang dari kota yang telah mempercayakan
diri mereka kepadanya.

Saat ini si Charles mendaki bukit sendirian, tanpa menimbulkan bunyi sedikit
pun. Dekat puncak bukit ini, ia bersembunyi sejenak di belakang sebuah pohon
yang kerdil. Lalu ia tidak kelihatan lagi. Tetapi tidak lama kemudian, ia muncul
kembali, lari ke bawah, dan melompat ke pelananya. "Cukup aman sejauh mataku
dapat melihat," katanya cepat. Maka rombongan berkuda itu mulai maju lagi.

Malam itu para penunggang kuda berkemah di sebuah lembah yang terpencil. Si
Charles memasak untuk mereka semua; api yang dinyalakannya begitu kecil,
sehingga sedikit sekali asap yang mengepul-ngepul ke atas . . . . Siapa
tahu, mungkin ada mata jahil yang sedang mengawasi tempat perkemahan mereka.

Bulan bersinar; malam itu cukup hangat. Api unggun pelan-pelan padam sampai
tinggal baranya saja. Kebanyakan anggota rombongan berkuda itu meringkuk di
bawah selimut mereka masing-masing, siap untuk tidur. Tetapi salah seorang di
antara mereka menuntun temannya ke samping untuk bercakap-cakap sebentar.
Temannya itu seorang pria yang tinggi besar dan berjenggot panjang.

"Puas, Pak Majors?" tanyanya kepada pria berjenggot itu.

"Ya, lebih dari puas!" jawab Pak Majors seraya mengangguk. "Aku telah mendengar
bahwa di seluruh wilayah sebelah barat Amerika ini, tidak ada koboi yang lebih
hebat daripada si Charles, dan sekarang aku pun percaya. Coba bayangkan
bagaimana ia meloloskan kita dari bahaya kemarin. Ya, Charles Martinlah
orangnya, . . . . asal ia mau bekerja pada kami."

Pada waktu perjalanan yang lama dan meletihkan itu sudah berakhir, Pak Majors
mengajak Charles Martin berunding.

"Charles," katanya, "tahukah engkau bagaimana sepucuk surat dari kota New York
di pantai timur sampai ke kota San Francisco di pantai barat?"

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kami di wilayah sebelah barat ini
jarang sekali berurusan dengan surat, Pak."

Pak Majors tersenyum. "Tetapi sebaliknya, penduduk Amerika Serikat di daerah-daerah
lain sering berurusan dengan surat. Soalnya, selalu memakan waktu berminggu-minggu
atau berbulan-bulan lamanya, baru sepucuk dari sebelah timur dapat tiba di
sebelah barat."

"Lho! Kalau naik kuda, bisa pergi jauh sekali dalam waktu satu bulan, Pak," kata
Charles.

"Betul!" Tetapi surat-surat itu tidak diantar dengan naik kuda. Surat-surat itu
harus naik kapal sampai ke pelabuhan di pantai Panama, lalu diturunkan dari
kapal dan dibawa melintasi tanah genting sampai ke pelabuhan lagi, kemudian
kembali naik kapal ke Kalifornia. Nah, aku punya gagasan baru tentang cara yang
lebih cepat untuk mengantar surat. Dan aku ingin engkau membantu cara baru itu,
Charles."

Dengan penuh perhatian Charles Martin mendengarkan Pak Majors menjelaskan
gagasan baru itu.

"Sudah ada kereta api dari pantai timur sampai ke pedalaman Amerika Serikat,"
kata Pak Majors. "Dari ujung rel kereta api itu, aku ingin menyiapkan para
penunggang kuda yang masih muda dan yang sangat berani. Seperti perlombaan
estafet, mereka harus bekerja sama, terus berjalan siang dan malam, apakah hari
cerah atau hari hujan. Tidak boleh ada apapun juga yang menghalangi mereka!
Sepucuk surat yang dikirim dari New York harus dapat sampai ke San Fransisco
dalam waktu sepuluh hari saja."

Mata Charles terbelalak "Sepuluh hari naik kuda!"

"Bukan! Jumlah semuanya sepuluh hari, termasuk waktu di kereta api itu.

"Hmmm, . . ." Nampaknya si Charles mencium kemungkinan petualangan yang
baru "Pasti sudah ada rencana, ya, Pak?"

"Sudah. Kami akan mendirikan dua ratus pos pergantian kuda, dengan lima ratus
kuda yang larinya paling kencang, serta delapan puluh penunggang kuda. "Pria
besar yang berjenggot panjang itu berhenti sebentar dan menatap Charles Martin.
"Dan belum cukuplah bila para penunggang kuda itu berani. Mengantar surat adalah
tanggung jawab yang penting. Pemuda-pemuda itu tidak boleh berkelahi, tidak
boleh berjudi, tidak boleh bermabuk-mabukan. Mereka harus jujur dan setia
selalu."

Kelihatannya Charles Martin semakin tertarik.

"Berbahaya sekali tugas semacam itu, Charles!" Pak Majors memperingatkan.
"Apakah engkau berminat?"

"Barangkali," jawab Charles.

Pak Majors lalu membentangkan sehelai peta yang kasar di atas meja. "Kami hanya
ingin pakai orang-orang yang terpilih saja. Bagaimana kalau kau yang mencarikan
penunggang kuda bagi kami di seluruh dunia ini? Lalu tugasmu selanjutnya ialah,
. . . mengantar surat dari sini . . . ke sini." Ia menunjuk tempat-tempat
itu di peta.

"Rasanya tidak begitu jauh perjalanan itu, Pak," si Charles berkomentar.

"Tetapi bagaimana kalau malam hari? Bagaimana kalau musim salju?" Pak Majors
melirik lagi ke wajah Charles. "Pokoknya, surat itu harus selalu tiba, tepat
pada waktunya! Biar turun hujan atau salju, biar sedang masa kekeringan atau
peperangan, biar ada gangguan dari suku Indian yang garang atau gerombolan
perampok, surat itu harus selalu tiba, tepat pada waktunya. Penunggang yang
mendahuluimu harus tiba di pos pergantian sehingga kantung surat dapat
diserahkan sebelum kudanya berhenti. Lalu engkau harus segera berangkat,
berpacu-pacu menuju pos pergantian kuda yang berikutnya."

Charles tersenyum. Rupa-rupanya ia memang semakin tertarik.

"Masih ada hal lain lagi," tambah Pak Majors. "Perusahaan kami hanya ingin
mempekerjakan orang-orang yang berwatak baik. Tiap penunggang kuda harus rela
menandatangani perjanjian ini." Lalu ia meletakkan sehelai kertas di atas meja.
Tulisan di atas jelas. "Bacalah baik-baik, Charles!" katanya.

Si Charles membaca dengan suara keras: "Aku berjanji, dengan bersumpah di
hadapan Tuhan Yang Mahabesar, bahwa selama aku menjadi pegawai perusahaan ini:
Aku tidak akan mengucapkan kata-kata kotor, tidak akan mencicipi minuman keras,
dan tidak akan bercekcok atau berkelahi dengan pegawai lain; sebaliknya, aku
akan berlaku jujur, menunaikan tugasku dengan rajin, dan mencari nama baik dari
majikanku. Semoga Tuhan menolong aku supaya tetap setia kepada janji ini!"

Tegas sekali syarat-syarat perjanjian itu! Kebanyakan koboi di wilayah sebelah
barat justru suka melakukan hal-hal yang dilarang olehnya.

"Mengantar surat itu tugas yang penting," kata Pak Majors pelan-pelan. "Kami
tidak mau mengambil resiko dengan orang-orang yang lemah wataknya. Kami tidak
ingin ada seorang pengantar pos kami yang berkelakuan seolah-olah ia tak
bertuhan."

Si Charles merenungkannya sejenak, lalu berkata: "Aku rela bersumpah, Pak. Janji
itu tidak terlalu berat."

"Pada saat pemuda yang kurus tetapi kuat itu menandatangani kertas yang
dibentangkan di depannya, mata Pak Majors berbinar-binar tanda puas. Lalu
majikan itu pun mengeluarkan tiga macam bekal perjalanan yang diperlihatkannya
di samping kertas tadi. Yang satu adalah sebuah pistol; yang satunya lagi,
sebilah pisau; dan yang ketiga, sebuah Alkitab ukuran saku yang dijilid kuat-kuat
dengan kulit binatang.

"Senjata yang berat-berat tidak mungkin dapat kaubawa dengan naik kuda, Charles,
Pak Majors menjelaskan. "Mudah-mudahan kedua macam senjata yang kami jatahkan
kepadamu ini akan cukup ampuh. Tetapi mungkin yang penting ialah, . . .
bekal yang ketiga ini."

Pak Majors mengangkat Alkitab itu sambil melanjutkan: "Kami tidak mengharuskan
pengantar pos kami berjanji akan membaca Alkitab, Charles. Tiap orang bebas
memilih agama untuk dirinya sendiri. Tetapi bawalah Kitab Suci yang kecil ini
besertamu, ya? Dan jikalau engkau membacanya, pasti hal itu akan memudahkan
engkau menepati janjimu tadi."

Berkali-kali Pak Majors mengadakan wawancara dengan pemuda-pemuda yang melamar
pekerjaan mengantar surat lewat Ekspres Berkuda. Akhirnya ia selesai memilih.
Semua pemuda yang terpilih telah menandatangani perjanjian itu. Dan semuanya
telah diberi tiga macam bekal perjalanan yang sama.

Tibalah tanggal 3 April 1860, hari permulaan Expres Berkuda. Celaka! Kereta api
dari pantai timur itu datangnya terlambat di pedalaman Amerika Serikat. Namun
surat-surat segera diturunkan dari gerbong pos serta dimasukkan ke dalam kantung
pelana. Lalu pemuda yang sudah ditunjuk untuk jarak pertama itu berangkat
seperti joki di lapangan pacuan kuda.

Hari telah sore; . . . lalu malam pun tiba. Empat kali penunggang kuda itu
turun dari pelana selama beberapa detik saja, supaya petugas di pos pergantian
dapat menolong dia menaiki seekor kuda baru yang masih segar. Setelah ia
bepergian sejak 20 kilometer, tahu-tahu pengantar pos kedua muncul di sampingnya
dalam kegelapan malam. Kedua kuda itu mencongklang bersama-sama pada jalan
berbatu, selama kantung pelana pindah tangan. Dan surat-surat itu pun berjalan
terus!

Dalam waktu seminggu saja, surat-surat yang dikirim lewat Expres Berkuda itu
dibawa sejauh 3.200 kolometer! Kadang-kadang ada penunggang kuda yang tiba di
suatu pos pergantian, lalu ia mendapati pengantar surat yang seharusnya
menggantikan dia itu tiba-tiba jatuh sakit, atau terluka berat oleh serangan
penjahat, ataupun sudah mati dibunuh. Namun surat-surat itu masih tetap di
menuju tempat sialamat: Pengantar yang sudah capai itu terpaksa harus tahan
perjalanan yang lebih jauh dan lebih meletihkan lagi, sampai akhirnya ia
berhasil mencapai suatu tempat di mana ada kawan sekerjanya yang sanggup
menerima dan meneruskan kantung pelana berisi surat itu.

Maka demikianlah kisah Expres Berkuda yang penuh petualangan itu. Walau disengat
terik matahari, walau diguyur hujan lebat, melalui segala peredaraan musim, para
penunggang kuda yang berani itu tetap menunaikan tugas mereka. Si Charles dan
teman-temannya yang masih muda itu tidak pernah gagal menyampaikan surat-surat
ke tempat tujuannya.

Pada waktu-waktu senggang yang mereka lewati sebelum dan sesudah perjalanan
mereka yang penuh marabahaya, para pemberani muda itu memang terbukti hidup
sesuai dengan perjanjian dan sumpah mereka. Dan tidak sedikit di antara mereka
mendapat penghiburan dan pertolongan dari Buku kecil ukuran saku yang selalu
dibawa serta sepanjang perjalanan Expres Berkuda.

TAMAT