Jumat, 07 Juni 2013

KOM 210.2.2 ORANG YANG MURAH HATINYA



Add caption










MAHAGURU SINTING

MAHAGURU SINTING

(Jerman, 1517-1534 M.)

Tukang bantai serta pembantunya yang masih muda itu saling melirik pada saat
pintu toko daging dibuka oleh seorang pria setengah umur yang berbadan agak
gemuk.

"Nah, ini dia, sang mahaguru sinting yang memesan seekor domba untuk dijagal
hari ini," tukang bantai itu berbisik.

"Guten Morgen!" Suara mahaguru itu keras dan ramah. "Domba pesananku sudah ada,
Pak?"

"Sudah, Tuanku!" Tukang bantai itu mengangguk, lalu melambaikan tangannya tanda
mengajak ke tempat pejagalan di belakang toko.

Pada saat sang mahaguru sinting menepuk bahu anak laki-laki yang menjadi
pembantu jagal itu, ia mematung karena takut. Lalu mahaguru itu terus lewat dan
mengikuti jagal keluar dari toko.

Setelah pintu belakang ditutup, barulah anak laki-laki itu bergerak lagi. Dengan
berjingkat-jingkat ia mendekati pintu tadi dan menguakkannya sedikit. Dari
tempat yang tersembunyi itu ia dapat mengintip apa yang hendak dilakukan di
pejagalan.

Ternyata mahaguru sinting itu membawa serta sebuah kantung kain. Ia mengeluarkan
sebuah buku notes, sebatang pena panjang yang terbuat dari bulu angsa, sebuah
botol tinta, dan sebuah kotak berisi pasir. Ini semua diletakkannya di atas
meja; lalu ia duduk di belakangnya.

Pekerjaan menyembelh itu dimulai. Dari tempat persembunyiannya, anak laki-laki
itu dapat melihat muka sang mahaguru sinting mengernyit pada saat si domba
mengembik denagan suara keras, lalu mati berlumuran darah. Terus jagal yang
cekatan itu menguliti bangkainya dan memotong-motongnya.

Mahaguru sinting itu mengamat-amati semuanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya,
sehingga anak laki-laki itu terkejut: "Itu apa namanya Pak?"

Tentu saja mahaguru ini sinting! Demikianlah jalan pikiran pembantu cilik yang
bersembunyi di belakang pintu itu. Anak laki-laki siapakah di jalanan kota
Wittenberg yang tidak tahu apa namanya benda itu? Tentu saja itu namanya ginjal
domba!

Tukang bantai itu terus bekerja, walau sering diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan
yang dungu. Sudah jelas, mahaguru itu tidak tahu bedanya antara hati dan
jantung, antara paru-paru dan empedu . . . walau jika dilihat dari
pakaiannya, dia itu seorng sarjana dari universitas!

Sewaktu-waktu terdengar dering giring-giring. Lonceng kecil itu tergantung pada
pintu muka, untuk memberitahukan kedatangan calon pembeli. Maka setiap kali
giring-giring mendering, secara ogah-ogahan anak laki-laki itu meninggalkan
posnya di belakang pintu dan pergi melayani langganan toko daging. Ia tidak
sabar untuk kembali lagi menyaksikan apa yang sedang terjadi di pejagalan.

Ternyata tukang bantai tidak lagi bersikap takut-takut terhadap sang mahaguru
sinting. Seolah-olah mahguru itu adalah seorang pembantunya yang masih baru, ia
menjelaskan bagaimana meja jagal harus dibersihkan, bagaimana pisau harus
diasah, bagaimana tombak kecil harus dipakai untuk menikam tubuh seekor binatang
sembelihan.

Sang mahaguru mencatat semuanya itu pada buku notesnya. Tangannya bergerak bolak
balik dengan cekatan di atas halaman putih itu. Setiap kata ditulis dengan
penanya, kemudian ditaburi sedikit pasir agar tinta hitamnya cepat kering.

Rupa-rupanya semua catatan itu sudah selesai. Sang mahaguru menyimpan kembali
barang-barang miliknya ke dalam kantong kainnya. Ia membayar tukang bantai, lalu
melangkah menuju jalan keluar. "Berilah daging domba itu kepada orang-orang
miskin," katanya seraya membuka pintu depan. Giring-giring mendering pada saat
pintu dibanting, dan derap kaki yang berat itu makin lama makin redam.

Anak laki-laki itu memandang pada tukang bantai. "Pak, kenapa dia banyak
bertanya seperti itu? Apa dia betul-betul sinting?"

"O, memang dia orang sinting," jawab jagal itu. "Tetapi bukan seperti orang gila
yang matanya liar dan tangannya usil. Bukan, kegilaannya itu di dalam hati. Ia
sedang mengerjakan sesuatu yang sangat jahat: Ia mau menerjemahkan Kitab Suci ke
dalam bahas Jerman! Maksudnya datang kemari ialah, agar istilah-istilah untuk
pengorbanan binatang pada zaman Perjanjian Lama itu tepat semua."

Lalu suara jagal itu menggeledek: "Hujat! Itu namanya untuk pekerjaan yang
begitu jahat! Semua orang tahu bahwa Alkitab itu tertulis dalam bahasa Latin
yang suci. Kalau menyalinnya ke dalam bahasa lain, itu hujat namanya!"

Anak laki-laki itu menggigil. "Apakah sang mahaguru sinting itu orang sini?"

"Aku kurang tahu," jawab tukang bantai. "Tempo hari pada waktu ia memesan domba,
rasanya ia memakai nama yang biasa saja. Rasanya pernah kudengar orang
mempercakapkan nama itu di kedai minuman keras." Ia mengusap kumisnya sambil
berpikir sejenak. "Nak, pernahkah kaudengar nama Dr. Martin Luther? . . ."

Adegan yang aneh di pejagalan tadi, sesungguhnya hanya merupakan satu dari
sekian banyak adegan luar biasa yang benar-benar terjadi selama Martin Luther,
sang pendekar gerakan pembaharuan gereja itu, sedang mengerjakan terjemahannya.

Pernah penerjemah yang sangat hati-hati itu meminjam beberapa batu permata dari
kaum bangsawan. Ia ingin supaya nama-nama batu permata yang dijelaskan dalam
Kitab Wahyu itu disebut dengan tepat dalam bahasa Jerman.

Pernah ia pun mendatangi para sarjana bangsa Yahudi dan bertanya-tanya tentang
mata uang dan satuan ukuran yang berlaku dahulu kala pada zaman Perjanjian Lama.
Lalu ia pergi juga ke pasar dan mencari istilah-istilah yang sepadan dalam
bahasa Jerman sehari-hari.

Dulu Martin Luther menjadi seorang pastor Gereja Katolik, yang sudah biasa
mendengar pengakuan dosa rakyat kecil. Ia masih ingat kata-kata kasar yang
pernah dicetuskan oleh mereka kata-kata tentang pencobaan, kata-kata tentang
rasa sepi dan rasa bersalah.

Mahaguru itu pun suka pergi bermain dengan anak-anak di jalanan kota, suka
mengobrol pula dengan para petani yang membajak di ladang. Tahulah dia bahwa
pikiran-pikiran umat Tuhan dahulu kala itu tidak akan mengena dalam hati rakyat
biasa di negeri Jerman, jika hal itu dibahasakan dalam istilah-istilah tinggi
dari dunia universitas.

Semua adegan aneh ini terjadi beberapa tahun setelah Martin Luther dikeluarkan
dari Gereja Katolik, dan setelah ia diancam akan dibunuh oleh karena
kepercayaannya. Luther hidup pada masa peralihan dari Abad Pertengahan beranjak
ke dunia modern. Di seluruh Eropa, orang-orang sedang menggarap hasil
kesarjanaan. Di negeri Jerman, Yohanes Gutenberg telah melancarkan perkembangan
ilmu pengetahuan itu, melalui mesin cetaknya dengan huruf yang dapat dipindah-pindahkan.
Kitab yang mula-mula dicetaknya ialah, Alkitab dalam bahasa Latin.

Ada juga gerakan pembaharuan di bidang keagamaan, yakni: Reformasi Protestan.
Dr. Martin Lutherlah yang memimpin gerakan itu. Ia menekankan bahwa: "Orang
biasa berhak mengetahui sendiri isi Alkitab. Orang biasa berhak diselamatkan
oleh kasih karunia Tuhan Allah, dengan jalan percaya kepada Yesus Kristus.

Para pemimpin gereja menuduh: "Hujat! Hujat!" Maka Martin Luther diadili di
hadapan sang kaisar. Kata-kata pembelaannya yang terkenal itu ialah: "Aku
terikat oleh Kitab Suci. Suara hatiku terlambat oleh Firman Allah. Kecuali aku
diyakinkan oleh isi Alkitab serta penjelasannya yang terang, aku tidak akan, aku
tidak dapat mengingkari kepercayaanku!"

Tidak ada seorang pun yang sanggup memberi penjelasan Alkitab yang terang,
sehingga tidak seorang pun berhasil meyakinkan Martin Luther bahwa
kepercayaannya itu salah. Maka ia tidak pernah ingkar; ia tetap menekankan bahwa
setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan diselamatkan oleh kasih
karunia Tuhan Allah.

Walau Martin Luther tidak pernah ingkar, ia menyembunyikan diri dalam Benteng
Wartburg karena nyawanya terancam. Di situ, pada tahun 1521, mulailah ia
menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman.
Di dalam benteng yang sepi itu, dengan lampu yang berkedip-kedip dan dengan pena
bulu angsa yang sering rusak, tanpa bantuan seorang penulis, Martin Luther
mengerjakan semuanya sendirian. Edisi pertama dari Perjanjian Baru hasil
terjemahannya itu diterbitkan pada bulan September tahun 1522.

Hebat sekali reaksinya! Banyak orang Jerman menjadi sangat gempar ketika untuk
pertama kalinya mereka dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibu mereka. Bahkan ada
yang tidak lagi dapat menguasai luapan perasaannya sehingga mereka mulai merusak
gedung-gedung ibadat milik aliran gereja yang sudah lama mencegah mereka
mempunyai Firman Tuhan.

Walau nyawanya terancam, Luther kembali ke kota Wittenberg, tempat kerusuhan
itu. Ia berkhotbah bahwa gerakan pembaharuan itu dimaksudkan untuk membangun,
bukan untuk merusak. Ia mengingatkan para pengikutnya bahwa ia memang berani
melawan ajaran-ajaran palsu, namun ia tidak memakai kekerasan. Dan ia pun
memulai suatu sistem ibadah yang baru. Dalam kebaktian umum itu, yang dibacakan
bukan lagi Alkitab bahasa Latin, melainkan Alkitab bahasa Jerman.

Selama beberapa hari saja Luther berkhotbah dan mengajar di kota Wittenberg.
Lalu ia mengungsi lagi ke Benteng Wartburg. Tetapi tidak lama kemudian
berkobarlah perang di negeri Jerman. Luther merasa bahwa ia seharusnya melayani
di tengah-tengah masyarakat yang sedang menderita.

Dengan tekad hati yang baru, Dr. Martin Luther kembali lagi ke kota Witthenberg.
Ia mulai lagi membawakan kuliah keagamaan di universitas. Ia menikah dan membina
rumah tangganya. Dan ia pun mulai menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama.

Pekerjaan terjemahan itulah yang menimbulkan adegan-adegan aneh yang digambarkan
tadi: di pejagalan, di perbendaharaan batu permata, di pasar, di ladang. Selama
sebelas tahun Martin Luther membanting tulang, mencari kata-kata bahasa Jerman
yang paling tepat. Baru pada tahun 1534 terjemahan Alkitabnya yang lengkap itu
diedarkan.

Dr. Martin Luther mengajak beberapa mahasiswanya dan rekan-rekan sekerjanya
untuk mendirikan suatu Perkumpulan Alkitab: Minggu demi minggu mereka bertemu,
dan sering "sang mahaguru sinting" membuat mereka semua tertawa mendengar
penjelasannya tentang masalah-masalah yang sedang dihadapinya dalam tugasnya
yang mulia itu.

"Wah, sulit sekali memaksakan para nabi berbicara dalam bahasa Jerman!" kata Dr.
Luther. "Mereka melawan terus segala usahaku. Mereka tidak mau meninggalkan
bahasa Ibrani mereka yang indah, sama seperti seekor burung bulbul tidak mau
meninggalkan kicauannya yang merdu dan mulai mengaok seperti seekor burung
gagak!"

Pada kesempatan yang lain, ketika ia sedang menerjemahkan Kitab Ayub, Martin
Luther menyatakan: "Aduh, si Ayub bersikeras mau duduk terus dalam debu dan
abu."

Para anggota Perkumpulan Alkitab itu sering mengadakan penyelidikan dan surat-menyurat,
agar dapat menolong rekan mereka dalam usahanya mencari kata-kata bahasa Jerman
yang paling tepat. Istilah-istilah terjemahan itu dibahas panjang lebar dalam
pertemuan-pertemuan mingguan; setiap orang memperbincangkannya dari sudut
keahliannya masing-masing. Begitu teliti penyelidikan mereka sehingga Dr. Luther
mengomel: "Kadang-kadang dengan susah payah kami hanya dapat menerjemahkan tiga
baris dalam empat hari."

Alkitab itu yang disusun berdasarkan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh jagal
dan petani, oleh anak di sekolah dan pedagang di pasar ternyata menjadi buku
pegangan untuk bahasa Jerman modern. Banyak sekali orang Jerman yang belajar
membaca dengan berpedomankan Alkitab terjemahan Martin Luther. Kitab Suci dalam
bahasa Jerman itu pun menjadi titik tolak untuk suatu gerakan persatuan bangsa
dan bahasa.

Mula-mula Alkitab terjemahan Luther itu dijual dengan harga setengah juta rupiah
sebuah. Namun begitu banyak eksemplarnya yang laku sehingga para tukang cetak
dengan cepat harus mengeluarkan edisi-edisinya lebih banyak lagi. Lambat laun
harganya ditekan, sampai rakyat miskin pun dapat membelinya. Maka terjemahan
Alkitab hasil karya "sang mahaguru sinting" itu menjadi batu penjuru untuk suatu
pola kehidupan dan kepercayaan yang baru di negeri Jerman.

TAMAT