Selasa, 11 Juni 2013

Gereja Mar Thomas (Gereja Paling Tua Didunia/Kaum Kristen Santo Thomas di India)

GEREJA YANG TIDAK MEMPUNYAI ALKITAB


Hampir dua abad yang lalu, Kerajaan Inggris Raya mulai melebarkan sayapnya ke
benua Asia. Masa itu kita kenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia masa
Gubernur Raffles yang tersohor.

Pada masa itu juga, yakni pada tahun 1806, ada seorang pendeta tentara Inggris
Raya yang baru tiba di negeri India bagian barat. Namanya, Pdt. Claudius
Buchanan.

Di negeri India bagian barat itu, ada pohon-pohon palem yang menjulang tinggi,
seolah-olah hendak mencakar langit biru. Tetapi di sana ada pula angin bohorok
yang amat panas, sehingga semua penduduk suka berlindung di dalam rumah.

"Wah, panas sekali negeri India ini!" gumam Pdt. Claudius Buchanan. "Memang aku
sudah diberitahu sebelumnya. Namun sama sekali belum terlintas pada pikiranku
bahwa betul-betul ada benua yang cuacanya sepanas ini."

Ada rekan-rekan Pdt. Buchanan yang sudah lama tinggal di negeri India bagian
barat. "Nanti musim kemarau ini akan menjadi lebih panas lagi, Pak, baru
kemudian akan tiba musim hujan," demikianlah mereka menjelaskan. "Maukah Bapak
pulang lagi ke negeri Inggris? Ada kapal yang akan berangkat minggu depan."

Claudia Buchanan mendesah. Tidak mungkin ia dapat segera pulang ke tanah airnya
yang hijau dan sejuk itu. Ada tugasnya di negeri India yang belum selesai; ia
bertekad menunaikan tugasnya itu sebagai seorang pendeta tentara.

Bulan-bulan terus berlalu. Pendeta dari negeri Inggris itu menjadi lebih betah
tinggal di tempat yang cuacanya demikian panasnya. Ia pun mulai belajar bahasa
setempat, serta mulai menyelidiki cara hidup para penduduk negeri India bagian
barat.

Lalu Claudius Buchanan menemukan salah satu fakta yang paling menarik yang
pernah diketahuinya: Ia menemukan bahwa di Travancore, daerah pantai barat itu,
ada gereja-gereja yang amat tua, milik orang-orang India sendiri.

Sebelumnya, Pdt. Buchanan mengira bahwa tidak ada gereja sama sekali di negeri
India kecuali gereja-gereja yang didirikan oleh para utusan Injil yang datang
dari negara lain. Misalnya, di Calcutta dan sekitarnya ada jemaat-jemaat Baptis
yang baru ditanam oleh Dr. William Carey dan rekan-rekannya.

Namun ternyata di India sudah ada sekelompok anggota gereja-gereja kuno yang
biasanya diberi nama julukan: kaum Kristen Santo Tomas. Cara berbakti mereka itu
agak mirip dengan cara berbakti Gereja Katolik Roma. Ada pastor-pastor yang
memimpin kebaktian mereka serta mengajar para anggota jemaat mereka.

"Tetapi benua India ini tidak biasa dikenal sebagai negeri Kristen," kata Pdt.
Buchanan, masih bingung. "Benua India biasa dikenal sebagai negeri kafir,
bukan?"

"Memang betul, Tuan Pendeta," kata para orang Kristen Santo Tomas itu. "Namun
demikian, di pantai barat ini ada juga gereja-gereja yang sudah ada sejak waktu
Santo Tomas sendiri datang dan mengabarkan Injil kepada nenek moyang kami."
Dengan bangga mereka pun menambahkan: "Mungkin aliran gereja kami merupakan
aliran Kristen yang paling tua di seluruh dunia."

Mereka memperlihatkan gedung-gedung ibadah mereka kepada pendatang baru dari
negeri Inggris itu. Pada dinding-dindingnya terukir tulisan-tulisan. Para ahli
sastra memberitahu Pdt. Buchanan bahwa tulisan-tulisan itu memang sudah lebih
dari seribu tahun umurnya. Ada juga tanda-tanda salib di menara-menara gereja
yang sama tuanya.

Kalau gedung gerejanya begitu tua, demikianlah Claudius Buchanan berpikir, pasti
sejarah jemaat yang mula-mula terbentuk di sini jauh lebih tua lagi. Boleh jadi
aliran gereja ini sudah dimulai beratus-ratus tahun sebelum ada pembangunan
gedung ibadah. Mungkinkah . . . mungkinkah Rasul Tomas, yang dua ribu
tahun yang lalu pernah mengikuti Tuhan Yesus berjalan pada lorong-lorong berdebu
di Galilea dan Yudea itu, . . . mungkinkah kemudian ia benar-benar
bepergian sejauh India ini? Mungkinkah ia pun berjalan menelusuri lorong-lorong
berdebu di negeri India bagian barat untuk memberitakan Kabar Baik tentang kasih
Tuhan?

Claudius Buchanan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya
itu. Tetapi jawaban orang-orang Kristen di India bagian barat itu hanyalah
sejauh ini saja: "Kami kurang tahu, Tuan Pendeta. Namun sejak dahulu kala kami
selalu disebut dengan nama julukan ‘kaum Kristen Santo Tomas’. Dan kami sendiri
memang percaya bahwa Santo Tomas pernah datang kemari. Aliran kami lebih tua
lagi daripada semua catatan yang tertulis dalam sejarah gereja."

Pdt. Buchanan terus menyelidiki gereja-gereja kuno itu. Ternyata keadaannya
kurang baik. Tidak ada petobat-petobat baru yang menjadi anggota-anggota gereja.
Tidak ada bukti bahwa anggota-anggota gereja yang sudah lama itu suka menjalani
hidup menurut ajaran-ajaran Firman Tuhan.

Pada suatu hari Pdt. Buchanan sedang bercakap-cakap dengan para pastor. "Ada
Alkitab di gereja Bapak-Bapak?" tanyanya.

"O ya, ada, Tuan Pendeta," demikianlah mereka menjawab sambil tersenyum. "Kami
memang punya beberapa salinan seluruh Alkitab. Tetapi semuanya ditulis dalam
bahasa Siria kuno. Tidak ada seorang pun di sini yang biasa berbicara dalam
bahasa itu lagi. Kadang-kadang kami membacakan ayat-ayat dari Alkitab bahasa
Siria itu dalam kebaktian. Tetapi hanya kami sendiri yang dapat mengerti
maknanya, jadi kurang berguna membacakannya kepada jemaat."

Memang kurang berguna! kata Claudius Buchanan pada dirinya sendiri. Bagaimanakah
sebuah gereja dapat maju, tanpa adanya Firman Tuhan dalam hati para anggotanya?

Dengan suara keras ia pun bertanya: "Mengapa Bapak-Bapak tidak menerjemahkan
Alkitab, sehingga para anggota jemaat dapat memahami isinya?"

"Menerjemahkan Alkitab!" Kelihatannya para pastor itu kaget, bahkan sedikit
tersinggung. "Maksud Tuan Pendeta, memindahkan isi Kitab Suci dari bahasa kuno
ke dalam bahasa lain? Wah, belum pernah kami dengar kalau ada Alkitab yang dapat
dipahami oleh rakyat biasa!"

Claudia Buchanan mengeluarkan Alkitabnya sendiri. "Ini, Bapak-Bapak, lihat saja
ini." Para pastor melihatnya dengan terheran-heran. "Inilah Alkitab yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasaku, yaitu bahasa rakyat biasa di negeri Inggris,
tanah airku. Seharusnya anggota-anggota gereja di sini juga diperbolehkan
mempunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri."

"Bahasa mereka sendiri!" para pastor membeo lagi. "Maksud Tuan Pendeta, bahasa
Malayalam? bahasa orang Travancore?

Tentu saja," jawab Pdt. Buchanan. "Bukankah bahasa Malayalam itu bahasa sehari-hari
orang Travancore yang tinggal di sini?"

Sulit sekali membuat para pastor itu terbujuk olehnya! Sampai saat itu, mereka
menganggap Alkitab sebagai semacam kitab kramat, yang hanya boleh dibuka dengan
penuh khidmat dalam upacara ibadah agung, dan hanya boleh diucapkan dalam bahasa
kuno oleh kaum rohaniawan yang sanggup membacakannya. Belum pernah mereka dengar
bahwa isi Alkitab itu seharusnya masuk ke dalam pikiran dan hati manusia, dan
bukan hanya masuk ke dalam telingannya saja.

Claudius Buchanan terus mendesak. Akhirnya kaum pastor itu mengalah. "Baiklah!
Kami akan melakukannya," mereka mengiakan. "dan kami akan mulai dengan keempat
Kitab Injil, yang menceritakan masa pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini."

Maka para pastor duduk menghadap terjemahan Alkitab dalam bahasa Siria kuno itu,
yakni Alkitab yang hanya dapat dipahami oleh mereka sendiri. Dengan susah payah
mereka mulai menerjemahkan Kitab Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Kalimat
demi kalimat, pasal demi pasal, Kitab Injil demi Kitab Injil, tugas itu mereka
laksanakan.

Seluruh isi keempat Kitab Injil itu ditulis dalam bahasa sehari-hari penduduk
Travancore, yaitu penduduk daerah pantai di India bagian barat. Lalu para pastor
membawa naskah tulisan tangan itu ke kota Bombay, karena di sana ada percetakan.
Claudius Buchanan pun ada di kota Bombay, dan dialah yang mengawasi proyek
penerbitan itu.

Pada tahun 1811, hanya lima tahun setelah Pdt. Buchanan mula-mula menemukan
gereja yang tidak mempunyai Alkitab itu, terbitlah sudah keempat Kitab Injil
dalam bahasa Malayalam.

Alangkah gemparnya semua orang Kristen di negeri India bagian barat, ketika
salinan-salinan keempat Kitab Injil itu tiba di Travancore! Pada hari yang indah
dan tak terlupakan itu, para pastor berdiri di gereja dan membacakan kepada
jemaat dalam bahasa mereka sendiri, tentang Tuhan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.

"Wah, ini sesuatu yang baru!" seru para anggota gereja. "Ini benar-benar Kabar
Baik!"

Kemudian mereka dan pemimpin mereka mulai membandingkan ajaran dan cara hidup
gereja mereka dengan isi Kitab Perjanjian Baru.

"Sudah jelas, kita harus berubah," mereka memutuskan. "Kita harus mengikuti
ajaran-ajaran Tuhan Yesus, dan bukan hanya mengikuti adat-istiadat bangsa kita
saja."

Maka mulailah terjadi suatu perubahan besar dalam aliran gereja yang amat kuno
itu. Begitu menyeluruh perubahan itu sehingga mereka mengangkat suatu nama baru,
berdasarkan nama julukan yang sudah lama diberikan kepada mereka.

Pada masa kini aliran gereja yang kuno itu dengan resmi disebut: Gereja Mar
Thoma sebagai peringatan bagi Rasul Tomas yang diperkirakan sebagai orang yang
mula-mula membawa ajaran-ajaran Tuhan Yesus ke negeri India bagian barat. Gereja
itu masih tetap dibimbing oleh ajaran-ajaran yang sama, karena Alkitab dalam
bahasa mereka sendiri dibacakan setiap kali ada kebaktian umum. Lagi pula, pada
masa kini aliran gereja yang kuno itu telah menjadi giat menyampaikan Kabar Baik
kepada orang-orang lain.

Salinan-salinan Alkitab bahasa Malayalam itu terdapat bukan hanya di dalam
gedung-gedung Gereja Mar Thoma, melainkan juga di dalam rumah-rumah para
anggota. "Kami senang mempunyai Alkitab sendiri-sendiri," kata mereka.
"Bagaimana kami dapat tahu kehendak Tuhan tentang cara hidup kami, kecuali jika
kami dapat membaca ajaran-ajaran Alkitab?"

Dulu, ketika gerakan pembaharuan baru dilancarkan dalam aliran gereja yang kuno
itu, Pdt. Claudius Buchanan juga merasa tergugah oleh pengalamannya yang luar
biasa. Ia menyampaikan sebuah khotbah yang berjudul: "Bintang di Timur." Sambil
berkhotbah ia menyamakan orang-orang India yang mencari Tuhan itu, dengan para
orang Majus yang datang dahulu kala dari benua sebelah Timur ke Betlehem dengan
dipimpin oleh sebuah bintang. Dan sesungguhnya para orang Majus itu pun dipimpin
oleh penjelasan kata-kata nubuat dari Firman Tuhan.

Khotbah Pdt. Buchanan itu kemudian diterbitkan dan diedarkan ke mana-mana.
Banyak orang Kristn yang menyambut himbauan Pdt. Buchanan, termasuk Adoiram
Judson, utusan Injil perintis ke negeri tetangga kita, Myanmar (Birma).

Jadi, "Gereja yang Tidak Mempunyai Alkitab" itu telah menjadi sebuah gereja yang
hidup menurut Alkitab. Aliran gereja di negeri India bagian barat itu tidak lagi
seolah-olah tertidur atau hanya sekedar memelihara adatnya yang kuno. Gereja Mar
Thomas telah menjadi suatu berkat bagi anggota-anggotanya, juga bagi orang-orang
lain di dunia ini yang belum sempat mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.

TAMAT